Sejarah Desa
Sejarah Tentang Desa Warulor Kecamatan Wiradesa
Sejarah Berdirinya Desa Warulor
Suatu riwayat mengenai berdirinya suatu desa yang didukung oleh suatu bukti – bukti yang otentik adalah sangat penting dan mempunyai nilai yang sangat tinggi terutama bagi generasi penerus yang tidak mengalami proses kegiatan yang terjadi saat itu, demikian pula halnya keberadaan Desa Warulor Kecamatan WIradesa kabupaten Pekalongan adalah merupakan hasil atau proses perjuangan yang panjang dari para pendahulu – pendahulu kita yang sebagian besar telah wafat dan diteruskan oleh genersi berikutnya.
Desa Warulor terletak pada kondisi geografis yang sangat strategis. Terletak di kisaran 1 – 2 M Dari Permukaan Laut. Desa Warulor terdiri dari 2 ( dua ) Dusun, 8 ( delapan ) Rukun Warga, 13 ( tigabelas ) Rukun Tetangga. Pada pertengahan tahun 2012 ini penduduk di Desa Warulor berjumlah 3.526 jiwa terdiri dari jumlah penduduk laki – laki 1.792 jiwa dan penduduk perempuan 1.734 jiwa. Sebaran penduduk sangat merata di daerah pemukimanSebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai buruh dan petani. Hamparan sawah pertaniannya yang subur membentang dari Jalan Raya S. Parman, Jalan Pantura pulau Jawa hingga perkampungan desa. Hamparan sawah tersebut memiliki kisaran luas sekitar 46.350 Ha. Jalan Provinsi juga melintas di tengah – tengah desa ini. Rel kereta api jalur ganda ( Double Track ) juga melintas menyilang di tengah Desa Warulor.
Menyadari akan hal tersebut di atas, maka Pemerintah Desa Warulor Kecamatan Wiradesa Kabupaten Pekalongan mencoba menyusun Riwayat singkat tentang keberadaan Desa Warulor itu sendiri.
Selanjutnya mengapa diberi nama Desa Warulor?. Untuk menelusuri sejarah berdirinya Desa Warulor telah diperoleh beberapa sumber. Namun untuk kesempurnaannya penulis belum dapat memperoleh hasil yang maksimal. Misalnya tentang tahun berdirinya, siapa tokoh tokoh yang terlibat dan lain – lain.
Inilah mungkin sekilas sejarah tentang berdirinya Desa Warulor.
Pada awal abad ke-17 Kerajaan Mataram yang kala itu dipimpin oleh Sultan Agung mengangkat Adipati Manduroredja sebagai Senapati ( Laksamana Perang ), untuk memimpin dan mengerahkan pasukan Mataram guna menyerang VOC di Batavia. Beliau Adipati Manduroredja dibantu oleh Tumenggung Bahureksa, Pangeran Upasanta dan Pangeran Purbaya.
Singkat cerita, setelah penyerangan *) ke Batavia itu, Tumenggung Bahureksa diberi tugas untuk menjemput seorang gadis tambatan hati Sri Baginda Sultan Agung yaitu Rantamsari. Rantamsari adalah seorang gadis dari Desa Kali Salak ( Batang ). Ketika Tumenggung Bahurekso diberi tugas oleh Sultan Agung menjemput Rantamsari yang akan dipersunting Baginda Sultan Agung. Tidak disangka dan tidak diduga Tumenggung Bahurekso jatuh hati terhadap Rantamsari dan merekapun saling jatuh cinta. Untuk menghindri agar dirinya tidak dipersembahkan kepada Sultan Agung, maka Rantamsari pun akhirnya bercerita kepada Tumenggung Bahureksa bahwa di Desa Kali Beluk ada seorang gadis cantik bahkan kecantikannya melebihi dirinya. Gadis itu bernama Endang Wuranti. Endang Wuranti pun dipersembahkan kepada Sri Baginda Sultan Agung.
Betapa kecewanya Sri Baginda Sultan Agung mendapati gadis yang bukan harapannya. Akhirnya Sultan pun memberikan hukuman kepada Tumenggung Bahureksa. Tumenggung Bahureksa pun dipanggil dan diperintahkan untuk membuka Hutan Gambiran ( Kotamadya Pekalongan ), tepatnya di jembatan Jalan Salak Pekalongan.
Berangkatlah Tumenggung Bahurekso ke Hutan Gambiran disertai pasukan Mataram Segelar Sepapan. Dan diantara pasukan Segelar Sepapan yang menyertai Tumenggung Bahureksa adalah Ki Makdum Sarpin. Beliau seorang yang alim taat beribadah. Maka Ki Makdum Sarpin memilih untuk memisahkan diri dari pasukan Mataram itu dan menetap di suatu wilayah yang hanya sekitar 40 rumah yang berdiri di kawasan itu dan tempatnyapun berjauhan.
Kita tinggalkan sejarah mengenai Tumenggung Bahureksa. Marilah kita mengikuti kisah tentang apa yang terjadi di wilayah Waru.
Namun berhari, bahkan berbulan beliau singgah dan menetap di sebuah hutan yang sebagian besar tanamannya adalah pohon weru. Kemudian beliau mendirikan sebuah gubug di tepi sebuah sungai kecil yang airnya mengalir jernih dan ikan- ikan yang hidup didalamnya nampak saling berlalu lalang dengan riangnya. Beliau mendirikan sebuah gubug dengan bahan pohon weru yang tumbuh disekitarnya. Pohon weru digunakan untuk tiang, dahan digunakan untuk pagar, bahkan kulit pohonnya beliau manfaatkan untuk mengikat rangkaian bangunan gubug tersebut. Di dalam gubug itu beliau melakukan aktifitas seperti tidur, ibadah dan lain – lain.
Namun kejenuhan menghinggapi pikiran Ki Makdum Sarpin, lalu beliaupun mengundang beberapa orang untuk diberi ilmu yang telah lama mengendap yang berupa ilmu agama Islam. ‘Jadi Ki Makdum Sarpin termasuk penyebar agama Islam di wilayah ini’.
Berhari, berbulan bahkan bertahun murid Ki Makdum Sarpin kian bertambah sehingga hampir penduduk dewasa diwilayah itu secara rutin setiap hari senin dan jum’at menghadiri pengajian yang disampaikan Ki Makdum Sarpin. Maka para muridpun memberikan usulan kepada Ki Makdum Sarpin untuk membentuk sebuah padepokan. Maka pada saat itu pula berdiri Padepokan Ki Makdum Sarpin.
Namun sangat disayangkan setelah bertambah banyak murid di padepokan itu makin banyak pula masalah yang mereka hadapi. Akhirnya waktu pengajian rutinpun di tambah yang mulanya hanya dua hari menjadi lima hari yaitu hari sabtu, selasa dan jum’at khusus untuk murid – murid atau para santri yang dari wilayah sebelah selatan padepokan. Dan hari minggu, rabu dan jum’at untuk para santri yang berasal dari wilayah sebelah utara padepokan. Ada waktu mereka berkumpul di satu hari yaitu hari Jum’at. Memang disengaja oleh Ki Makdum Sarpin, agar para santri bisa melakukan shalat jum’at di padepokan.
Setiap habis shalat Jum’at para santri berdialog berbagai hal dengan mediator Ki Makdum Sarpin. Dan pada suatu hari para santri pun menginginkan padepokan itu untuk diberi nama. Maka mereka berdialog sangat alot hingga melewati waktu shalat Ashar bahkan menjelang Maghrib. Dan pada akhirnya mereka pun tidak mau saling mengalah, nama apa yang akan digunakan untuk padepokan itu. Setelah menyaksikan musyawarah para santrinya Ki Makdum Sarpin pun melihat perpecahan antara para santri wilayah utara dan wilayah selatan. Dan akhirnya Ki Makdum Sarpin pun membuat keputusan tentang nama padepokan tidak penting tetapi yang penting adalah ibadah kepada Allah SWT adalah hal yang paling utama. Untuk itu beliau membagi wilayah itu menjadi dua, sebagai pusat adalah padepokan itu yang memang berdiri di tepi sebelah utara sungai dan beliau pun menunjuk ke arah barat dan berkata ‘’ para santriku yang aku sayangi, mulai saat ini wilayah ini aku jadikan dua wilayah, sebagai batas adalah kali kecil ini. Dan untuk nama karena wilayah ini sangat banyak pohon weru maka aku beri nama weru ( waru ). Yang sebelah utara aku beri nama Waru Lor dan sebelah selatan aku beri nama Waru Kidul. Adanya peristiwa itu para santri memberi julukan “ MBAH UDAR “ kepada Ki Makdum Sarpin yang artinya bubar, lepas tidak menyatu lagi. Hingga sekarang makam Ki Makdum Sarpin ( Mbah Udar ) masih terpelihara dengan baik oleh masyarakat Desa Warulor. Makam Ki Makdum Sarpin ( Mbah Udar ) terletak di Desa Warulor tepatnya di Rt. 007 Rw. 04 lebih tepat lagi di depan Masjid Ar – Rahman Warulor.
Itulah sekelumit sejarah yang memunculkan nama Warulor dan nama itu berlangsung sampai sekarang. Namun mengenai Pemerintahan yang ada pada Desa Warulor sebelum tahun 1911 penulis belum bisa menelusurinya.
Sebelum tahun 1911 M, wilayah Desa Warulor hanya berada di sebelah barat makam Ki Makdum Sarpin ( Mbah Udar ) saja. Di sebelah timur desa itu ada sebuah desa yang meskipun kehidupan sosial masyarakatnya pas – pasan, namun pemerintahan di desa tersebut cukup maju. Nama desa itu adalah Gorek. Untuk membuat dua desa ( Warulor dan Gorek ) tersebut menjadi lebih baik, maka para tokoh dari kedua desa tersebut berdialog untuk menyatukan kedua wilayah tersebut. Sehingga sekarang Desa Warulor menjadi lebih luas dari Desa Waru Kidul. Dan kedua desa ( Warulor dan Gorek ) itu disebut “Dusun” yaitu Dusun Warulor dan Dusun Gorek.

